Perjalanan kembali kita lanjutkan dan mulai terjadi beberapa drama. Mulai dari ada yang kebelet dan butuh melipir sebentar, sampai ada salah satu anggota yang muntah karena tidak kuat jalan. Memang perjalanan ini terbilang cukup berat. Untuk menuju puncak Merbabu, kita harus naik-turun beberapa puncak dan terkadang harus merayap di batu-batu untuk memanjat. Hal ini sangat menguras fisik. Apalagi salah satu teman pendakian kita baru pertama kali hiking. Pantas lah dia megap-megap dan terlihat frustrasi.
Terpaksa gue mengeluarkan jurus, “Ayo, deket lagi! Itu puncak nya udah keliatan!” padahal secara de facto gue juga frustrasi karena dibalik puncak itu masih ada puncak lain dan Kentheng Songo masih terlihat jauh disana.
Pukul 05.00, setelah naik-turun melewati Puncak Geger Sapi dan menyusuri jalan setapak kecil dengan jurang di kanan kiri-nya, akhirnya kita sampai di pertigaan Syarief. Sebuah pertigaan yang tepat dibawah Puncak Syarief. Dari pertigaan ini, puncak Khenteng Songo semakin terlihat jelas. Dengan semangat kita melanjutkan melangkah.
Menuju Khenteng Songo, kita kembali diminta memilih. Di depan kita ada jalur menanjak menyusuri puncak Ondorante. Di sisi kiri, ada sebuah jalur yang menyusuri punggungan puncak, melipir di pinggir jurang. Teman-teman gue berjalan terlebih dahulu, meninggalkan gue yang sedang asyik menangkap momen melalui jepretan kamera. Saat gue menyusul, tiba-tiba mereka sudah berbalik arah. Menurut mereka jalur itu terputus.
Oleh karena itu kita semua putar balik dan mengambil jalan satunya. Kembali menaiki satu puncak yang terlihat seperti raja terakhir.
Pada awalnya jalur puncak Ondorante ini terlihat biasa saja, tanjakannya curam namun luas dan permukaannya empuk. Kita bisa mendakinya dengan santai. Tapi, sesampainya di ujung jalur, gue menemukan sebuah pemandangan yang indah nan mengerikan. Sebuah kontradiksi.
Ujung puncak Ondorante adalah sebuah tebing dengan sudut kemiringan 90 derajat. Ya, kita kembali dipaksa panjat tebing. Sebelum menuju tebing, kita dipaksa untuk melewati jalan setapak yang lebarnya hanya cukup untuk satu orang. Jarak jalan setapak itu sekitar 10 Meter, namun itu adalah 10 Meter paling menyeramkan di sepanjang hidup gue. Sampai saati ini.
Di kanan-kiri jalan, jurang siap menyambut tubuh kita apabila lengah. Posisi puncak Ondorante mungkin berada di +/- 3.000 mdpl dan dari kejauhan gue bisa melihat awan putih melayang sejajar. Badan gue serasa ikut melayang, kaki lemas, dan pada akhirnya gue berjalan setengah merangkak.
Ternyata jalan setapak itu hanyalah awal dari kengerian sebenarnya. Sesampainya di tebing, gue dihadapkan pada fakta dimana gue harus melakukan panjat tebing di ketinggian 3.000 mdpl. Kaki tentu saja semakin lemas tak berdaya. Saat melongok ke bawah, langsung muncul imajinasi gue jatuh dan terguling. Dijamin badan gue bakal terpecah ke lima arah mata angin apabila imajinasi itu menjadi nyata.
Walau kaki lemas dan pikiran meragu, perjalanan harus tetap lanjut. Pantang pulang sebelum puncak. Setelah menghela nafas dan membuang jauh-jauh pikiran negatif, gue mulai menuruni tebing secara perlahan lahan. Tangan gue bergerak meraba bebatuan untuk mencari cengkraman yang kuat. Setelah kedua tangan kokoh mencengkram, kaki kiri gue turunkan untuk mencari pijakan. Setelah menendang-nendang batu dan memastikan bahwa itu kuat, gue pijakkan kaki kiri ke batu tersebut.
Kedua tangan sudah mencengkram dan kaki kiri sudah mantap memijak, perlahan gue gerakkan kaki kanan ke bawah. Sayangnya, gue tidak bisa menemukan batu pijakan untuk si kaki kanan. Panik. Sejenak gue terdiam. Bergantung di ketinggian 3.000 mdpl membuat gue melankolis. Gue langsung membayangkan sedihnya nyokap apabila perjalanan gue terhenti disini. Seketika gue inget kesalahan-kesalah yang gue perbuat di dunia. Gue juga inget jemuran di rumah belum diangkat, gimana kalo ujan? Oh, alam bisa membuat orang sebegitu religius. Bergelantungan di ketinggian 3.000 mdpl membuat nyawa serasa ada di ujung rambut.
Akhirnya gue menekuk kaki kanan dan memarkir dengkul di salah satu batu. Kemudian gue menghela nafas dan melihat kebawah, mencari pijakan. Kepala gue kliyengan saat menyadari seberapa tingginya gue sekarang. Namun gue mencoba tetap tenang dan mulai menentukan jalur yang tepat. Perlahan gue bisa menentukan jalur turun, walaupun harus nyerosot. Sebodo amat celana dan tangan kotor, yang penting nyawa selamat.
Sesampainya di bawah, setelah melalui tebing yang mengerikan itu, kita berpapasan dengan rombongan pendaki lainnya. Mereka berjalan santai sambil bernyanyi-nyanyi sumbang dari arah jalan yang sebelumnya dibilang terputus.
“Berani amat Mas lewat situ, jalur ini lebih gampang,” kata salah satu anggota rombongan sambil menunjuk jalan tersebut.
Seketika kita bengong. Damn.
Perjalanan kembali kita lanjutkan setelah berhasil mengatasi bengong karena sadar bahwa tadi kita mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang sia-sia.
Puncak Kentheng Songo sudah ada di depan mata. Kita hanya tinggal melewati tanjakan terakhir dengan pemandangan padang rumput kekuningan yang bersinar cerah tertimpa lembutnya sinar matahari pagi. Pukul 0530 kita sampai di puncak tertinggi Merbabu, Kentheng Songo. Puncak Kentheng Songo ditandai oleh jejeran empat buah batu berlubang (Watu Kenteng). Cerita yang beredar, katanya ada sembilan buah batu di pelatarang Kentheng Songo. Namun lima batu lainnya secara kasat mata menghilang dan hanya dapat dilihat secara gaib. Entahlah.
Yang terpenting dari puncak Kentheng Songo adalah : kita berada di negeri atas awan. Kita seakan-akan diberi hadiah oleh Sang Pencipta akibat Sholat Jum’at dulu sebelum mendaki. Cuaca sangat cerah dan kita bisa melihat pemandangan sekitar puncak secara jelas tanpa cela. Padahal hujan terus mengguyur pada saat awal perjalanan, tak mengizinkan kita untuk sekedar merasakan hangatnya matahari.
Di satu sisi, ada Gunung Merapi berdiri tegap dan angkuh. Merapi terlihat kekar dengan permukaan gunung yang terlihat seperti urat-urat kuli pekerja bangunan. Dia hanya berdiri sendiri tanpa ada yang menemani.
Di sisi lain terlihat jejeran Gunung Sindoro-Sumbing yang berdempet mesra, berhadapan antara satu dengan lainnya. Selain kedua gunung itu, ada juga beberapa gunung lain yang tidak gue ketahui namanya. Maklum, dulu suka bolos pas pelajaran Geografi.
Di puncak Kentheng Songo ini, segala lelah dan susah terbayar oleh suatu hal yang indah. Hangatnya sinar matahari perlahan merayap ke permukaan kulit, meredakan rasa dingin yang menyelimuti kita semenjak jam tiga tadi. Kita semua langsung sibuk masing-masing, mencari-cari spot foto dan beberapa pendaki menuliskan pesan-pesan di kertas selembar. Tak lupa gue memberikan penghormatan untuk seorang pendaki yang namanya diabadikan di sebuah tugu peringatan.
Penulis: Mirzal Dharmaputra
Diambil dari blog pribadi atas izin sang penulis, mirzaldputra.blogspot.com