Pembahasan di artikel ini
Mencapai Bukittinggi menggunakan bus menawarkan satu set pengalaman komplit. Kesialan, ketegangan, kemujuran, dan kebahagiaan dalam satu paket perjalanan.

Mungkin inilah saat-saat di mana keimanan saya terhadap Tuhan mencapai titik tertinggi. Di tengah kegelapan malam, bus yang saya naiki melahap setiap tikungan tajam dengan kecepatan tinggi. Terasa seperti menaiki rollercoaster, namun, dengan taruhan nyawa. Karena lelah terus-menerus dicengkram rasa gelisah saya pun memutuskan untuk berdoa dan jatuh terlelap.
Lima belas jam sebelumnya saya bersama tiga kawan lainnya meninggalkan Terminal Bus Rawamangun Jakarta Timur menuju Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Bus NPM menjadi pilihan karena harganya yang lebih murah dari pesawat. Ketika itu awal bulan Februari, tiket bus rute Jakarta – Bukittinggi bertarif sebesar 400 ribu rupiah untuk satu tiket. Lumayan, selisih sekitar 200 ribu rupiah jika dibandingkan pesawat.
Untuk harga segitu kondisi bus yang saya naiki terbilang lumayan. Busnya bersih dan cukup terawat meskipun dindingnya terlihat sedikit keropos, mungkin karena termakan usia. Hal yang mengganggu adalah sempitnya ruang untuk meletakan kaki. Ruang hanya cukup untuk meletakan ransel, sehingga kaki mesti nyelip di antara ransel dan kursi. Tanda-tanda kaki akan pegel-pegel sepanjang perjalanan.
Seiring bus memulai perjalanan saya merasa sudah tidak lagi ada di Pulau Jawa. Hampir semua orang tiba-tiba berbicara dengan Bahasa Minang. Mulai dari kernet, supir, hingga penumpang. Bahkan saya bingung ketika sang kernet bertanya kepada saya dalam Bahasa Minang. Menyadari kebingungan saya, ia tertawa dan bertanya lagi dalam Bahasa Indonesia. Oh, ternyata dia bertanya apa rombongan kami sudah lengkap.
Tidak terasa telah dua jam saya terlelap, ternyata bus sudah sampai di Pelabuhan Merak. Setelah bus masuk ke dalam kapal, semua penumpang pun turun. Kami memutuskan untuk duduk-duduk di dek kapal sembari menikmati pemandangan laut dan angin sepoi-sepoi.

Begitu kapal mulai berjalan tiba-tiba perut terasa mual, maklum ini pertama kalinya saya naik kapal. Untungnya, badan saya bisa cepat beradaptasi dengan getaran kapal sehingga rasa mual berangsur-angsur lenyap. Ditambah lagi semakin jauh kapal berjalan, pemandangan semakin memukau.
Permukaan laut menyuguhkan pertunjukan gradasi warna. Diawali dengan warna hijau turquoise, berganti biru tua, tergelincir ke hijau tua, dan kembali ke warna awal. Beberapa pulau kecil bertebaran di sisi-sisi jalur pelayaran. Satu-dua villa berdiri di atasnya. Saya jadi bertanya-tanya, siapa ya yang bisa punya villa di tempat itu. Mungkin bos perusahaan rokok atau ketua partai politik barangkali.
Pelayaran selama dua jam pun berakhir pada 17:40 WIB. Akhirnya, Sumatera! Surga pejalan di barat khatulistiwa. Pelabuhan Bakaheuni, Lampung, menyambut kami dengan langit mendung dan cuaca gerimis. Kondisi jalan raya Bakaheuni terbilang tidak cukup bagus bagi jalur masuk utama sebuah pulau. Jalannya sempit, hanya cukup untuk dua bus. Selain itu, aspalnya juga ditambal di mana-mana.