aefanas

Jogja Artweeks 2015 | Kopi Hangat Erwin Zubiyan di Malam yang Dingin

Jogja Artweeks 2015

Pertunjukan 'Serbuk Pahit dan Jalan Jalan Sempit © Jogja Artweeks 2015  tersapa

Sebuah karya bernuansa kopi yang menggabungkan seni musik dan seni puisi monolog berjudul “Serbuk Pahit dan Jalan Jalan Sempit” dipertunjukan pada Sabtu malam (20/6).

Gedung PKKH UGM Yogyakarta menjadi lokasi pertunjukan digelar. Erwin Zubiyan, seniman di balik karya tersebut, bersama tujuh kolaboratornya tampil dalam rangka Jogja Artweeks (JAW) Artworks Showcase 2015.

Ruang tengah PKKH tenggelam dalam balutan kain hitam di sekelilingnya. Sekitar 50 pasang mata terlihat telah hadir menanti penampilan Erwin, Danar Pam, Diwa Hutomo, Endy Baroque, Gunawan Maryanto, Hermani Atrin, Ignatius Made, dan Theodorus Christanto. Setelah para penampil naik pentas, pertunjukan kemudian dimulai pada pukul 20.45 WIB.

Repertoar dimulai dengan pembacaan monolog oleh Theodorus Christanto. Monolog bercerita mengenai sosok ‘Aku’ yang mengunjungi sebuah kedai kopi, bernama Kedai Kopi Tak Kie. Kedai ini dikisahkan berada di sebuah gang sempit di kawasan Glodok, DKI Jakarta.

Erwin Zubiyan dan Danar Pam © Jogja Artweeks 2015 tersapa

Uniknya, bukan cerita yang diiringi oleh musik, melainkan sebaliknya. Musik yang dimainkan terasa lebih bermakna dan ‘bercerita’ ketika ada monolog yang menyelinginya. Monolog dan musik mengalir bergantian, namun tidak saling tumpang tindih, melainkan saling melengkapi. Tak terasa, rangkaian instrumental, lagu, dan monolog tersebut akhirnya selesai pada pukul 21.35 WIB.

Secara visual, pertunjukan terlihat sangat megah. Tata artistik berupa satu set bar kedai kopi disajikan secara detail, ditambah oleh pengaturan tata cahaya yang menghidupkan suasana panggung. Sinkronisasi tata cahaya dan pertunjukan secara keseluruhan, nyaris sempurna. Dramatisasi musik, lagu, dan monolog menjadi lebih terasa.Erwin Zubiyan © Jogja Artweeks 2015 (2)  tersapa

 

Musik, yang menjadi kekuatan utama pertunjukan, disajikan begitu jernih. Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Diwa Hutomo nyaris tanpa cela. Pesan yang disampaikan lewat lagu dapat dinikmati bersama dengan musiknya. Erwin Zubiyan tampil begitu menonjol diantara kolaborator yang lain dengan permainan gitar akustik dan keyboardnya, disamping penampilan monolog dan nyanyian.

Erwin Zubiyan © Jogja Artweeks 2015  tersapa

Sayangnya, kesempurnaan pertunjukan sedikit ternodai dengan permainan tata cahaya yang mengganggu penonton. Beberapa lampu sorot yang secara dinamis bergerak menyorot seluruh area, baik area pertunjukan dan penonton, sangat menyilaukan, sehingga mengganggu pandangan penonton. Hal tersebut berlangsung di tengah pertunjukan, sehingga menyebabkan fokus terhadap pertunjukan agak terganggu.

Secara keseluruhan, pertunjukan berjalan dengan baik. Lagu-lagu dan musik yang dipadukan dengan monolog amat pas dan hidup. Kepiawaian para pemusik tak perlu diragukan lagi. Sayangnya, pertunjukan hanya berdurasi dibawah satu jam. Terlalu singkat untuk pertunjukan semegah dan seindah itu. Erwin Zubiyan dan kolaboratornya sukses membawa penonton menikmati karyanya, seperti menyeruput kopi pahit hangat di malam Jogja yang dingin.

Erwin Zubiyan dan Tujuh Kolaboratornya © Jogja Artweeks 2015  tersapa

Ditulis oleh: Pandu R. Pangestu @maslennon

Latest articles