aefanas

Kemistisan Lokananta dalam Ancaman Kepunahan

Studio Lokananta
Studio Lokananta

Ada satu kesan mendalam bagi saya jika bicara tentang studio Lokananta: mistis. Kesan ini awalnya muncul ketika menonton film dokumenter berjudul Siar, Daur Baur. Film ini merekam perjalanan band Pandai Besi, serta proses pembuatan album Daur Baur yang dilakukan di studio rekaman kebanggaan kota Solo tersebut. Dalam film itu terlihat bagaimana studio Lokananta memiliki ruang rekaman yang begitu megah. Selain itu, aura kuat historis juga terasa menyelimuti, mengingat sudah banyak musisi legendaris Indonesia yang melakukan rekaman di sana. Saya merinding melihat kemistisan Lokananta yang tersaji dalam film tersebut!

Akhirnya, sebulan yang lalu saya datang sendiri ke Lokananta untuk ikut merasakan kemistisan tersebut. Tidak disangka-sangka saya disambut oleh pemandangan yang menyedihkan. Papan nama Lokananta terlihat rapuh berkarat. Temboknya kusam dan retak-retak, rumput-rumput liar tubuh tinggi tidak terurus. Bukan tidak mungkin suatu saat ada sutradara film horror yang menjadikannya sebagai salah satu pilihan utama lokasi syuting.

Untungnya, pemandangan tersebut hilang ketika saya memasuki ruang rekaman utama. Disambut dengan suasana temaram yang memukau. Ruangannya begitu megah dan luas. Mungkin ukurannya sedikit lebih besar dari sebuah lapangan futsal. Dan seketika kesan mistis yang pernah saya rasakan sebelumnya kembali menyergap. Komposisi ciptaan musisi-musisi yang pernah melakukan rekaman seakan terdengar kembali di udara.

Perasaan ini kemudian saya ceritakan kepada Pak Pindi, sound engineer Lokananta. ”Gak cuma adek kok yang bilang gitu, banyak musisi yang pernah rekaman di sini juga dapet feel seperti itu.” Bahkan ada beberapa musisi yang sengaja rekaman di Lokananta untuk dapat merasakan feel mistis tersebut.

“Kalo kata anak-anak White Shoes (band White Shoes and The Couples Company –red) di sini kerasa banget feel musisi jaman dulunya,” lanjutnya. Ia juga mengakui bahwa desain interior studio sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga pantulan suara di dalam studio terdengar khas dan memperkuat kesan mistis yang ada.

Cerita Pak Pindi kemudian berlanjut menjadi curhat tentang kondisi Lokananta sekarang. Ia berujar bahwa saat ini pemerintah telah memotong sebagian besar alokasi dana untuk Lokananta. Dengan jumlah dana yang sedikit, perawatan gedung hanya bisa dilakukan seadanya. “Makanya, demi tempat ini, kami cari uang sendiri, salah satunya dengan membuat lapangan futsal di gedung sebelah untuk disewakan,” ujarnya menutup perbincangan.

Dalam perjalanan pulang saya ngeri memikirkan curhatan Pak Pindi tadi. Jika tidak ada langkah berarti untuk mengubah kondisi Lokananta, bukan tidak mungkin studio legendaris tersebut akan segera tutup usia. Konsekuensinya, kemistisan dan segala cerita yang terdapat di dalamnya juga akan ikut terlupakan. Generasi mendatang hanya bisa meraba-raba kemistisan Lokananta dari buku sejarah saja.

Penulis: Farras Muhammad @frstoday

Editor: Aef Anas @a_ef

Latest articles