Jika berbicara mengenai Pacitan, mayoritas orang akan merujuk pada tempat asal Mantan Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono. Namun tunggu dulu, Pacitan bukan hanya itu. Kabupaten yang berada di ujung barat Jawa Timur ini memiliki keindahan alam yang kiranya sulit di temukan di kota Anda.
Selain Pantai Klayar, Pacitan sebenarnya masih mempunyai banyak pantai indah lainnya karena letaknya yang langsung bersua dengan Samudera Hindia. Ya, Pantai Watu Karung adalah salah satunya.
Jika Anda berdomisili di Yogyakarta, maka diperlukan sekitar 3,5 jam hingga 4 jam untuk sampai ke Pantai Watu Karung. Anda diharuskan melewati lika-liku perbukitan di Gunung Kidul untuk bisa sekedar melihat papan bertuliskan ‘Selamat Datang di Pacitan’ dengan senyum sejoli bupati dan wakilnya.
Kali ini saya mengandalkan Waze—semacam aplikasi GPS— serta plang-plang hijau yang seakan turut menuntun kami sampai di Pacitan. Setelahnya, Waze hanya mampu mengantarkan Anda ke Pantai Klayar saja karena Pantai Watu Karung sepertinya belum terjamah olehnya. Saya pikir tidak ada salahnya menandai Pantai Klayar sebagai tujuan utama, toh nanti tinggal tanya penduduk sekitar.
Ketika sudah memasuki wilayah Pacitan, saya mencoba untuk bertanya ke salah satu teman saya yang memang dibesarkan di sana terlebih dahulu. Dia memberitahu jalan menuju ke Pantai Klayar, namun tidak begitu menyarankan untuk melintasinya. Namun, ya bodo amatlah, dalam pikiran saya, tidak ada salahnya juga mencoba.
Benar saja, setelah berpapasan tulisan Goa Gong, kami memutuskan untuk masuk dan mengikutinya. Setelah berjalan cukup lama, Waze sudah tidak bisa diandalkan lagi. Turunlah kami dari kendaraan untuk mencari GPS organik.
“Pak, jalan ke Klayar lewat sini ya? Berarti sejalan sama Watu Karung kan?” tanya saya.
“Nggih mas, tapi kalau saran saya puter balik aja, soalnya jalannya naik-turun, jelek juga,” jawab bapaknya yang sedang berkumpul dengan warga sekitar lainnya.
Namun apa daya, kami sudah terlalu jauh terjerumus ke jalan ini, sehingga kata ‘putar balik’ tidak ada di benak kami. Bak, peramal, kata-kata bapak tadi langsung kejadian hampir di seluruh jalan kami menuju ke Pantai Watu Karung. Jalan naik-turun, bergelombang, batu-batu, belok kiri-kanan, semak-semak seakan menjadi teman tambahan kami dalam perjalanan. Terhitung, sudah ada tiga kali kami turun dari mobil untuk sekedar menyambung sinyal ingatan kami, salah satunya dengan mengetuk pintu rumah warga sekitar karena jam 22.00 seperti sudah tidak ada lagi kehidupan di sepanjang jalan.
Perlu waktu hampir dua jam kami melewati jalan tersebut. Namun pada akhirnya, kami menemukan jalan yang benar.
“Aspal!” teriak kami mengharu biru. Bukan lebay, bukan. Ini dikarenakan kami sudah terlalu muak dengan jalan yang sudah di deskripsikan di atas.
Tidak perlu waktu lama setelahnya untuk sampai di pantai yang tidak diakui oleh Waze ini. Namun, kekesalan kami dijalan disambut oleh lengkungan bibir pantai yang membentuk huruh ‘U’ seperti halnya orang tersenyum. Tidak lupa, walaupun gelap, saya dapat melihat keindahan mata dari deretan pulau yang agak jauh di sana. Namun sayang, kontur wajah pantai seperti dinodai oleh jerawat-jerawat dari sampah alami di sekitarnya. Well, setidaknya beberapa jerawat tidak bisa menutupi keindahan wajah pantai ini.
Perlu diketahui, jika Pantai Watu Karung merupakan salah satu dari deretan pantai selatan yang bisa digunakan untuk surfing. Ombak yang mendukung serta keberanian menjadi perpaduan adrenalin sempurna jika memang Anda bisa surfing layaknya bule-bule yang kerap melakukannya. Tidak hanya itu, terdapat satu cottage cantik yang terlihat nyaman untuk di gunakan bermalam. Satu lagi, pantai ini masih sepi! Jadi, jangan datangi jika kamu ingin menyumbang sampah untuk pantai ini!