aefanas

Pendakian Lawu: Menggapai Puncak Seribu Cemara (Bagian 1)

Menyesap keindahan Gunung Lawu dalam pendakian penuh tantangan.

Bagian 1a

Mentari tengah tersenyum lebar ketika kami tiba di basecamp pendakian Gunung Lawu Jalur Cemoro Sewu. Cerahnya cuaca siang itu menyebabkan panorama di sekitarnya yang didominasi oleh hamparan perbukitan hijau terlihat jelas. Cahaya matahari ditambah dengan ketiadaan angin juga ikut menghangatkan suhu udara. Sebuah kondisi yang sempurna untuk mengawali pendakian menuju titik tertinggi Gunung Lawu.

Gunung Lawu sendiri selama ini lebih banyak dikenal karena beragam kisah mistisnya. Mulai dari legenda pasar setan hingga fakta bahwa gunung tersebut menjadi tempat langganan Soeharto untuk bertapa. Sayangnya, kepopuleran kisah-kisah tadi kadang menutupi fakta lain yang jauh lebih menarik.

Dengan ketinggian 3265 mdpl, gunung ini merupakan yang ketiga tertinggi di Provinsi Jawa Tengah. Gunung yang memiliki nama tua Wukir Mahendra ini juga menyimpan banyak flora dan fauna langka. Sebut saja Elang Jawa dan Anggrek Lawu, yang menjadi idola para kolektor anggrek. Selain itu, di sepanjang jalur Cemoro Sewu berdiri tidak kurang dari lima warung dengan warung Mbok Yem sebagai yang terpopuler.

Rombongan kami terdiri dari 12 orang remaja tanggung dengan pengalaman pendakian yang sangat minim. Mereka adalah Abiyoga Anantya, Annisa Puspa, Fauzi Ananta, Felix Jiophansiar, Harry Awik, Lucky Hakim, Muhammad Zulfi, Nanda Shafartama, Farras Muhammad, Nathasha Hillary, Yusuf Al Mizar, dan Zaki Taifurrahman. Dari selusin anggota rombongan, hanya lima orang yang pernah mendaki satu atau dua gunung. Sisanya, nihil pengalaman mendaki. Hanya saja, kenyataan tersebut tak membuat kami patah arang. Bahkan, optimisme kami meluap-luap untuk bisa membisikkan syukur di Puncak Hargo Dumilah.

Bagian 1b

Setelah makan siang dan menyelesaikan urusan administrasi, akhirnya, pendakian pun dimulai. Perjalanan dari basecamp menuju Pos Satu merupakan proses adaptasi fisik yang menyenangkan. Barisan cemara di sisi jalur memberikan suasana teduh sekaligus menemani pendaki yang tengah membentuk pola melangkah dan bernafas ideal. Kami melangkah dengan kecepatan yang sedikit lambat, namun, konstan. Hal tersebut dilakukan agar tidak cepat kehabisan tenaga serta untuk menjaga stamina hingga akhir pendakian.

Selepas Pos Satu, perjalanan ke atas menjadi semakin menantang. Jalur yang tadinya landai kini berubah terjal dengan makin banyaknya jalan menanjak. Bahkan, menurut denah, jalur dari Pos Satu menuju Pos Dua merupakan jalur dengan jarak terpanjang. Di ujung cakrawala, semburat cahaya merah tua menandakan datangnya senja. Kami pun segera menyiapkan senter dan headlamp untuk menyambut malam yang akan segera tiba. Udara dingin yang mulai menyergap juga membuat beberapa orang langsung mengenakan jaketnya.

Bersambung di bagian 2

Penulis: Farras Muhammad

Editor: Aef Anas

Latest articles