Pada pendakian pertama ke Gede, gue sempat bersumpah serapah untuk tidak kembali kesana. Bahkan tidak mau mendaki lagi. Capek. Lebih enak di rumah nonton soft copy film bajakan sambil minum susu coklat hangat dan berlindung di balik hangatnya bed cover yang menjaga kulit dari dinginnya AC kamar. Tidak adak logika yang tepat apabila harus menjawab pertanyaan, “Kok lo mau hiking? Kan capek.”
Namun Indonesia terlalu cantik untuk sekedar dinikmati melalui layar televisi, terutama melalui Indonesia Bagus, program andalan NET. yang baru saja menang KPI Awards 2014 untuk kategori Program Televisi Best Feature Budaya.
Tidak. Cara untuk menikmati Indonesia adalah dengan keluar rumah dan merasakannya. Selagi bisa dan selagi mampu. Oleh karena itu, gue menerima ajakan teman untuk kembali ke Gunung Gede. Walaupun gunung itu pernah bikin gue terlentang diatas batu dengan kaki beset sana-sini.
Pada perjalanan sebelumnya, gue mendaki Gede melalui jalur Putri dan turun di Cibodas. Kali ini gue diajak untuk naik melalui jalur Selabintana dan turun di jalur Putri. Mendaki di Sukabumi dan turun di Bogor dalam jangka waktu satu hari tanpa camp seperti sebelumnya. Lebih capek, jelas. Namun alam selalu menggoda untuk dihampiri.
***
18 September 2014 Pukul 21.00, perjalanan dimulai. Memanfaatkan jasa busway, gue berangkat ke Cawang-UKI untuk naik omprengan ke Ciawi dengan tarif 15.000. Pukul 00.00 gue sampai di Ciawi dan lanjut naik L300 yang bertarif 20.000. Tidak pakai menunggu lama, karena sudah banyak yang mengantri dan konsumen nya pun banyak. Sehingga mobil tidak butuh waktu lama untuk penuh. Walaupun tetap ada drama, “Masih muat satu orang!” padahal sisa tempat cuma cukup untuk satu curut.
L300 mungkin satu-satunya angkot menuju Sukabumi yang ada sampai larut malam. Supir-supirnya adalah jebolan pengendara F1 yang tidak lulus psikotes karena tidak mampu memahami fungsi pedal rem pada mobil. Style mengemudinya ugal-ugalan cenderung nekat. Jalur Ciawi-Sukabumi pada larut malam mayoritas dilewati truk-truk pengangkut material yang berjalan lambat. Apabila jalan L300 terhalang, maka supir akan mencari jalan apapun untuk bisa melewatinya. Garis bawahi kata apapun.
Di malam gelap yang sunyi tersebut, terlihat seberkas kecil cahaya merah di ufuk gelap. Sambil memicingkan mata, supir L300 menganalisa jalan dua arah yang hanya muat untuk dua mobil tersebut. Sebelah kiri got dan dari arah berlawanan muncul cahaya putih yang terlihat semakin mendekat. Sepertinya ada truk. Melalui kalkulasi yang bisa membuat seorang Albert Einstein tercengang kaget, supir memutuskan untuk memacu gas ke arah berlawanan.
Berbekal mesin mobil yang (mungkin) pada siang harinya dipakai sebagai mesin parutan kelapa, percepatan L300 untuk mendahului truk sangat payah. Namun insting supir mengalahkan logika, injakan di pedal gas malah ditambah. Deru mesin semakin berteriak kencang dan seakan mau meledak ke 7 arah mata angin. Truk di arah berlawanan pun sudah semakin mendekat, mengedipkan lampu dan membunyikan klakson. Sambil memekik tertahan, gue menyaksikan flashback kehidupan dan berpikir kenapa gue mempercayakan sisa nyawa ke supir yang nyalip truk dengan tangan kiri memegang stir dan tangan kanan bersandar di jendela menopang pipi.
Mobil akhirnya berhasil menyalip truk dengan selisih jarak yang sangat tipis dengan truk di arah sebaliknya. Lampu truk dari arah yang berlawanan sampai bisa menerangi seluruh kabin mobil dan memperlihatkan para penumpang yang rata-rata sedang memejamkan mata. Entah tertidur atau berpura-pura tidur. Oke. Gue coba cara mereka dan mulai merunduk sambil memejamkan mata.
Posisi tempat duduk gue yang berada di sisi kiri mobil tepat di samping jendela membuat kepala dan badan gue terantuk-antuk saat mobil bermanuver menantang maut. Tanpa melihat pun badan gue bisa merasakan kalau mobil berjalan miring kiri saat menyalip kendaraan lain lewat kiri jalan yang off-road dan berbeda ketinggian dengan jalan aspal.
Karena mata susah terpejam, sesekali gue mengangkat kepala untuk mengecek keadaan jalan, namun apa yang gue saksikan sangatlah membuka tabir jiwa. Mendekatkan gue ke Yang Maha Kuasa. Gue melihat batang kayu. Yak, tumpukan batangan kayu yang mungkin hanya berjarak 30cm dari jendela L300. Shocking. Ternyata dia lagi nyalip truk bermuatan kayu batang dan dari arah berlawanan ada motor. Jadilah L300 dempet-dempet mesra dengan truk, memaksa motor untuk akrobat di ujung aspal.
Pukul 00.45 kita sudah sampai di kota Sukabumi. Jarak +/- 50km yang lazimnya ditempuh dalam waktu 1,5 jam hanya ditempuh dalam jangka waktu 45 menit. Hebat. Bahkan mungkin seorang Fernando Alonso pun tidak bisa melakukan hal tersebut. Oleh L300 kita diturunkan di sebuah mesjid besar yang ada di tengah kota Sukabumi. Sambil menunggu dua orang anggota tim yang masih dalam perjalanan ke Sukabumi. Gue dan 2 orang teman keliling untuk cari carteran angkot ke Pondok Halimun dan makanan untuk makan siang.
Sekitar pukul 0200 2 orang temen gue dateng dan lengkaplah tim pendakian kami yang terdiri dari 5 orang. Dengan tarif 20.000 /orang, berangkatlah kita menuju Pondok Halimun menggunakan jasa angkot carteran.
Pukul 0300, kita sampai di Pondok Halimun. Jalur dari Sukabumi – Pondok Halimun bisa dibilang sangat hancur dan membingungkan.Kita sempat nyasar dan berkali-kali kolong angkot terbanting ke lubang-lubang yang tersebar di sepanjang jalan. Pekatnya malam yang bersekongkol dengan liukan pohon bambu membentuk bayangan yang terlihat seperti lambaian tangan. Seperti film Nightmare Before Christmas. Atau Malam 1 Suro. Untungnya di sepanjang jalan gak ada tukang sate.
Sesekali gue khawatir angkotnya rontok karena menghujam lubang yang tak kunjung ada habisnya. Namun tentu saja itu tidak terjadi. Segala kalkulasi dan hitungan fisika tidak berlaku untuk angkot-angkot di Indonesia.
Di Pondok Halimun kita mampir ke salah satu warung, sarapan, packing ulang, dan persiapan pendakian (baca : buang muatan). Pukul 0400, kita mulai mendaki Gunung Gede via Selabintana.
Penulis: Mirzal Dharmaputra
Diambil dari blog pribadi atas izin sang penulis, mirzaldputra.blogspot.com