
Anda suka berpetualang? Atau Anda suka mengabadikan horizon alam dengan barutan warna cerah meneduhkan? Setidaknya Sikunir, Dieng, Jawa Tengah menjadi salah satu objek wisata paling tepat dalam memuaskan hasrat teresbut.
Sikunir mulai terkenal karena banyaknya posting-an diberbagai media sosial yang menggambarkan betapa indahnya pemandangan di atasnya. Twitter dan Instagram—begitulah pengamatan saya selama ini—menjadi ladang subur tumbuhnya foto-foto itu. Saya pun turut tertarik dan menjadi kaum mainstream untuk mengunjungi pegunungan di atas awan tersebut.
**
Untuk memberi kepuasan maksimal kepada mata Anda, sangat dianjurkan untuk datang pada bulan Juni-Juli karena rona Matahari tepat dipuncaknya. Matahari dan alam pegunungan menjadi perpaduan dalam menjadi katalais untuk mencapai orgamse mata dan batin yang tak pernah dimanjakan sebelumnya. Ya, karena Anda sedang bersenggama dengan alam, dan tetesan air mata menjadi klimaks rasa syukur kepada pelukis alam.
Saya sendiri berdomisili di Yogyakarta sehingga perlu waktu sekitar 3 jam untuk sampai di desa tertinggi di Pulau Jawa tersebut. Beranggotakan tujuh orang di dalam kelompok, maka mobil menjadi kendaran paling menyenangkan untuk menjaga kebersamaan dalam obrolan. Walaupun tempat duduk sangat sempit dan berdesakan, setidaknya canda tawa mampu mengalihkan itu semua.
Perjalanan dari Yogyakarta kami mulai sekitar jam 00.15 malam, Sabtu 19 Juli 2014. Hawa dingin tidak terlalu menusuk tulang seperti yang orang-orang biasa tuliskan. Mengandalkan GPS sebagai pemandu jalan, namun nyatanya tidak terlalu memuaskan. Pada akhirnya, “Mas, kalau mau ke Sikunir, lewat mana ya?” Tanya salah seorang teman saya– itulah GPS alami yang masih menjadikan kami tetap manusia.
Saya sendiri sebenarnya tidak mengetahui jalan mana yang diambil karena berada di seat belakang, sehingga kurang bisa mendeskripsikan secara rinci. Saran saya, andalkanlah kedua GPS seperti di atas. Setelah keterbingungan yang sempat menimpa, perjalanan kami sampai juga ke tempat tujuan–melewati gunung dan lembah persis dalam lagu Ninja Hatori yang dulunya sering menghiasi layar kaca setiap minggunya.
Satu persatu kami turun dari mobil dan mulai berjalan-jalan kecil untuk mengamati sekitar. Setelah siempunya mobil kembali dari parkiran, kami mulai bersiap dengan melakukan pemanasan ringan supaya tidak terjadi kram saat mendaki nanti. Jam 04.00, kami mulai proses mencari jalan untuk mencapai orgasme mata kami. Terlalu pagi? Sepertinya tidak, karena kami memang mengincar istirahat saat di atas.
Pendakian sendiri terhitung cepat karena memang Sikunir bukanlah sebuah gunung. Hanya sekitar setengah jam, kami mulai dapat melihat perkampungan di puncaknya. Ya, berjejer lautan manusia telah bersiap menunggu munculnya bintang pusat tata surya kita menyiratkan sinarnya. Beberapa dome juga terlihat di kanan-kiri kami. Pun demikian, bekas-bekas perapian juga masih terlihat memerah.
Saya jadi berpikir, “Kenapa begitu banyak orang-orang berada di sini? Atau karena hari ini Sabtu? Ah, sepertinya bukan itu saja faktor yang melatar belakangi.” Saya mulai teringat beberapa orang-orang pernah mem-posting foto keindahan pemandangan dari Sikunir di media sosial. Pantaslah efek viral membawa dampak yang begitu hebat karena jika satu orang melihat foto pemandangan dari puncak Sikunir, pasti dia akan menunjukan ke orang lain dan dengan cekatan membuat planning untuk pergi ke sana.
Apakah ini sebuah keuntungan bagi warga sekitar atau malah kebuntungan bagi alam?
Jelas, warga sekitar menerima berkah luar biasa. Terlepas dari profesi mayoritas sebagai petani, mereka juga bisa membuka warung ataupun hasil panen di kiri-kanan jalan. Tak lupa retribusi parkirpun juga menjadi ladang minyak tersendiri.
Namun, bagaimana sebenarnya alam yang menjadi objek wisata? Apakah mereka baik-baik saja? Sikunir merupakan salah satu dari banyaknya alam yang menjadi objek wisata dan mampu menarik banyak orang. Terkadang, mereka yang menginap semalam di sana tidak jarang menyalakan api untuk sekedar menghangatkan tubuh. Mereka harus menebang ranting pepohonan terlebih dulu atau memang yang benar-benar pintar, mereka akan mengambil ranting yang sudah berserakan di tanah.
Apakah orang-orang yang sengaja menebang ranting tersebut tidak memikirkan jika bukan dirinya saja yang butuh kehangatan, alam juga membutuhkannya, namun dengan cara sebaliknya. Ditambah, dalam tingkatan minoritas, sampah-sampah yang mereka tinggalkan di atas sangat menggangu mata, lebih parahnya menganggu tanah. Tulisan ini bukanlah untuk menggurui, namun untuk memberi sedikit kesadaran bahwa sebenarnya mem-posting foto-foto sebuah destinasi wisata harus berpikiran, apakah objek wisata tersebut siap dan mau diserbu orang karena tidak semua orang pintar dalam menjaga alam?
Bukankah ini sebuah ironi tersendiri? Semakin banyak orang mem-posting pemandangan cantik dari Sikunir atau tempat lainnya, semakin banyak pula orang yang akan berkunjung kesana. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan alam yang semakin hari semakin dewasa, malah semakin memburuk.