Perayaan film terbaik tahun ini kita diberkahi dengan banyaknya aktor-aktris muda yang berhasil “merampok” sinema. Mereka tidak hanya berlakon sebagai pemeran tanpa suara; sebaliknya, justru merekalah yang diberikan corong bicara paling vokal. Sebuah langkah brilian yang dampaknya tak lain dan tak bukan adalah terjadinya regenerasi berkelanjutan.
Seperti Spectacular Ten 2016, daftar terbaik ini turut dipecah ke dalam dua postingan. Bagian pertama tersedia di tersapacom, sedangkan bagian kedua dapat dibaca di Ngepopcom. Yang sedang kamu baca ini adalah bagian pertama.
Sebelum masuk ke sepuluh besar film terbaik tahun ini, terdapat honorable mentions yang berisikan film-film dengan skor 9/10 tetapi tidak berhasil masuk ke dalam daftar. Honorable mentions di 2017 ini diberikan kepada: The Big Sick, Baby Driver, The Florida Project, Mudbound, The Post, The Shape of Water, Good Time, Coco, Wonder, Gifted, What Happened to Monday?, Beauty and the Beast, Spider-Man: Homecoming, dan Justice League.
Tanpa perlu berlama-lama, berikut adalah Spectacular Ten kategori Film Terbaik hasil kerja sama tersapa dan Ngepop.
Pembahasan di artikel ini
#10 First They Killed My Father (2017)
Pengarahan seorang Angelina Jolie tampil matang di First They Killed My Father. Bukan tanpa alasan, film ini menyorot perang saudara di Kamboja karena konflik pergantian rezim dari sudut pandang seorang anak perempuan. Untuk merealisasikannya, jelas dibutuhkan sosok pemeran yang tepat, narasi yang polos lagi matang, serta bidikan kamera yang netral. Kesemua aspek itu berhasil digenggam erat oleh film ini tanpa tampak meragukan. Sudut pandang dari mata seorang korban yang masih bocah, membuat atmosfer yang tercipta menjadi begitu nyata mengerikannya. Sensitivitas kita ditantang lewat keputusan ini; lebih jauh, dunia ditantang oleh film ini berkaitan dengan kejahatan perang yang dampaknya mesti ditanggung oleh ribuan bahkan jutaan manusia tak berdosa. (9.2/10)
#9 Okja (2017)
Progres dunia dan industrinya adalah cobaan terberat yang mesti dihadapi oleh ekosistem bumi. Dalam Okja, kita disadarkan untuk berani mempertanyakan kebiadaban yang menyertai proses tersajinya makanan di meja makan kita. Dan layaknya yang terjadi selama ini, di realitas film, sosok hewan dan anak-anak lebih mudah meraih simpati penonton; maka kombo inilah yang dipakai oleh Okja. Bahkan ketika sosok hewan yang di-endorse merupakan rekaan fiksional, rasa-rasanya kekejaman dan kebrutalan yang harus mereka tanggung tetap teresonansi dengan sempurna. Film ini melangkah lebih jauh dari sekadar bahan hiburan semata, melainkan sudah masuk ke ranah protes keras dengan cara paling beradab. (9.2/10)
#8 Nyai (2016) [Rilis Reguler 2017]
Mengapresiasi Nyai tidak bisa dilakukan secara terpisah-pisah: teater sendiri, film sendiri. Kita mesti sadar bahwa di sini keduanya adalah satu paket pertunjukan dengan kiblat improvisasi sejarah bermodel one-shot take. Dengan modal kesepahaman tersebut, Nyai adalah masterpiece dari seorang Garin Nugroho; sutradara yang idealismenya tidak pernah berhenti bikin geleng-geleng kepala. Berbekal perjalanan panjangnya di dunia perfilman sejauh ini, Nyai seolah menjadi titik kulminasinya. Sebuah karya yang tidak akan “jadi” kalau tidak digawangi oleh kematangan (baca: kegilaan) sineasnya. (9.2/10)
#7 Logan (2017)
Kembalinya si Wolverine inilah yang justru patut disepakati sebagai penyegaran bagi Marvel. Alih-alih berusaha menampilkan karakter berformula sederhana, single/dual layer, Logan merangsek masuk ke eksplorasi sisi emosional karakter yang dalam, multilayer. Bahkan, film ini berani untuk menjadi tega. Masa pensiun seorang pahlawan tidak pernah kelihatan sederhana. (9.5/10)
#6 Lady Bird (2017)
Lady Bird adalah film yang sukar ditolak. Penyajiannya dikawal oleh banyak karakter yang benar-benar hidup; karakter yang hobi menciptakan kontradiksi dan memiliki kompleksitas sendiri-sendiri. Apalagi, film ini tidak menuntut kita sebagai penonton untuk begitu saja setuju dengan tindakan para tokohnya. Sama dengan penokohan yang ada, kita pun diposisikan sebagai pabrik gagasan yang bebas dan punya hak untuk mempertanyakan banyak hal selagi durasi bergulir. Dengan pemosisian yang seperti itu, kita jadi memiliki keleluasaan untuk memahami dinamika mereka secara utuh dan tuntas. Dan ketika akhirnya “ujung perjalanan” itu mulai kentara, kita pun ikut dibuat lega dengan sendirinya. (9.5/10)
Untuk BAGIAN KEDUA, silakan KLIK DI SINI atau klik gambar di bawah.